Monday, July 26, 2010

hold your will!

Menahan Nafsu, Mengumbar Konsumerisme
Penulis: Wido Q Supraha * Tanggal: 11.11.2002 Hits: 185


Selamat Datang Wahai Ramadhan.

Sebuah bulan yang amat dirindukan dan dinantikan kedatangannya oleh segenap ummat Islam yang beriman dengan sebenar-benar taqwa, sejak di masa Rasulullaah SAW, dan para sahabatnya, telah dan sedang kita nikmati keberadaannya. Hanya saja rutinitas puasa yang telah mendarah daging di tubuh ummat yang sedang dalam puncak kegoncangannya ini, perlu kita kritisi ulang pelaksanaannya. Sehingga dampak puasa yang sebenarnya dapat dengan mudah ditumbuhkan dalam kehidupan konkret.



Menahan lapar dan dahaga (al-juu' wal 'athos) bukan hal yang sepele, terlebih di sebuah musim kemarau berkepanjangan yang kita rasakan saat ini. Namun ternyata, masih ada yang lebih susah ditahan daripada kedua hal di atas, yakni menahan nafsu membeli (baca : belanja). Meskipun ada yang masih kuat menahannya, boleh jadi mereka yang memang tidak memiliki latar belakangan keuangan yang cukup.



Tahun demi tahun berjalan, masa normal maupun masa krisis ekonomi, Ramadhan telah menjadi bulan eksploitasi diumbarnya nafsu belanja. Sehingga para pakar ekonomi pun banyak yang menggelengkan kepalanya, ketika ternyata hukum pasar yang mereka kaitkan dengan ibadah puasa ini, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketika sewajarnya di bulan suci nan agung ini, kebutuhan akan sembako menurun, justeru sebaliknya, harga-harga meningkat drastis, dikarenakan permintaan yang di atas ambang normal.



Meski pada realitasnya, masih banyak yang tidak ingin menyia-nyiakan hari-harinya dengan banyak kegiatan positif yang memang berhubungan langsung dengan ibadah shaum, seperti tarawih bersama, tadarus Al Qur'an, dialog agama, dan lainnya, yang menjadikan masjid-masjid besar terlihat lebih makmur dari biasanya. Namun, tidak sedikit juga kegiatan - dan mungkin ini yang lebih menonjol - yang pada hakikatnya tidak berhubungan langsung secara horizontal dengan ibadah puasa, yaitu belanja Ramadhan. Kegiatan konsumtif yang terakhir ini tidak ada kaitannya dalam upaya mengembangkan keberagamaan yang kaaffah, dan komprehensif, sebagaimana prasyarat menuju kehidupan bermasyarakat yang berdimensi teologis-transformatif.



Pesta diskon terjadi di pusat-pusat perbelanjaan. Banjir iklan terpampang di pusat-pusat media. Suka atau tidak, kegiatan konsumtif selama Ramadhan ini semakin lama semakin mendapat tempat, dan pembenaran. Dan semakin hebat daya ikatnya dengan dukungan pelaku industri dan bisnis, ditambah kebijakan pemerintah. Singkatnya, sepanjang tidak berbau maksiat, apa pun halal dilakukan pengusaha guna mereguk kenikmatan untung yang besar.



***



Hawa nafsu membangkitkan sifat konsumtif manusia yang terpendam. Godaan ini lebih berat daripada sekedar menahan lapar dan dahaga tadi. Ketika mayoritas warung-warung makan (al-math'am) menutup tirai-tirainya sehingga membantu manusia menahan lapar dahaganya, pusat-pusat perbelanjaan justeru membuka diri lebar-lebar dengan berbagai tawaran menggiurkan. Tidak hanya level kecil seperti makanan, pakaian, sepatu atau aksesori rumah tangga, melainkan perkakas kantor, komputer, HP, dan perangkat level high-end pun tidak mau ketinggalan melepas discount price mereka.



Tanpa kita sadari, virus ini bisa menggiring manusia pada kondisi umat beragama secara umum pada isu desakralisasi makna ibadah. Bisa diambil contoh negara Paman Sam, dimana ucapan salam ketika perayaan Natal mereka, tidak lagi Merry Christmas, melainkan telah berubah menjadi Happy Holiday, yang terlihat kontraproduktif bagi semangat keberagamaan mereka. Kegiatan berkonsumsi berlebihan ini telah menjadi kultur yang tidak relevan lagi dengan ajaran agama yang justeru mengumandangkan tema 'menahan diri' selama menjalankan ibadah puasanya.



Konsumerisme yang melanda masyarakat ini boleh jadi sebagai tanda bahwa kapitalisme telah unggul dan melindas alam sadar manusia pada makna sesungguhnya Ramadhan, syahrut tarbiyyah, wal ibaadah. Menjadi terbiasa membeli baju baru, memperbaiki rumah, mencari makanan enak, dan seolah inilah yang 'harus' setelah sebulan menahan nafsu makan minumnya. Budaya hedonistik berkembang biak, sehingga melahirkan anggapan yang berbeda antara puasa sebagai ritual yang vertikal dengan puasa sebagai kegiatan sosial yang horizontal.



Namun, siapa yang harus kita salahkan di era globalisasi konsumerisme ini? Siapa pula yang tidak terkena imbasnya di dunia materialistis ini? Apa salahnya setahun sekali melakukan itu semua?



Pertanyaan di atas semoga menjadi salah satu pemicu bagi ummat Islam pada khususnya, mengkritisi ulang proses ritual ibadah mereka, untuk kemudian dapat memaknainya kembali, dan mengimplementasikannya, mengacu pada suri tauladan kehidupan pemimpin agung nan mulia, Rasulullaah SAW, dan para sahabatnya, 'alahimussalaam.



Allaahu a'lam.

No comments:

Post a Comment