Saturday, May 28, 2011

long time no see

hm..
lama sekali tidak menengoknya
usang
jauh dari kesegaran
kering
ayo semangat!
semoga segera bermanfaat
waktu ibarat pedang

...

Monday, July 26, 2010

Is a relationship a crime?

PACARAN = PERCOBAAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN ???
Penulis: Haryanto - Email: ummah@indosat.net.id - Edisi: 15/2002 Tanggal: 27.07.2002 Hits: 303


"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalan hukum Alloh, jika kamu beriman kepada Alloh dan hari akhir, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman" (QS.An-Nuur:2)

Tidak di kampus, tidak di kantor, tidak di pertokoan, tidak di bus, tidak di kereta api, lebih-lebih di tempat-tempat hiburan dengan mudah kita akan temukan dua sejoli yang belum terikat tali pernikahan asyik berduaan, bergandengan tangan bahkan berpelukan mesra. Kadang kita menjadi kikuk karenanya. Mau ditegur jadi ribut. Tidak ditegur merusak pandangan. Akibatnya perjalanan kita menjadi tidak nyaman.

Itulah pacaran. Salah satu budaya sekaligus gaya hidup kaum muda Indonesia. Dengan alasan penjajakan pra nikah, berbagai carapun dilakukannya. Yang penting katanya “Tidak MBA (Married By Accident”. Meskipun realitas membuktikan tidak sedikit para remaja yang hamil sebelum nikah. Dan telah melakukan hubungan badan sesama lawan jenisnya.

Sehubungan dengan itu, mari kita kaji masalah ini dalam tinjauan hukum positif Indonesia. Pada saat yang sama kita juga perlu membandingkannya dengan hukum Islam, sebagai referensi dan pedoman tertingggi bagi kehidupan kaum muslimin. Sehingga dengan ini, kita sebagai kaum muslimin dapat menentukan sikap berkaitan dengan masalah pacaran ini. Baik terhadap diri kita, saudara kita, anak kita, tetangga kita atau teman dan kolega kita.

Dalam Hukum Positif
Dalam KUHP Indonesia, kita tidak temukan istilah pacaran. Namun bukan berarti masalah ini tidak diatur dalam KUHP. Karena dalam Bab XIV diatur masalah kejahatan terhadap kesopanan. Khususnya pasal 281 yang menyatakan bahwa barang siapa yang sengaja merusak kesopanan dimuka umum diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan. Yang dimaksud dengan merusak kesopanan ini, R. Susilo dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya” antara lain yaitu mencium lawan jenis dsb. Dan sebagainya disini bisa berarti pula berpelukan tergantung kebijakan hakim dalam memtuskan masalah ini. Tergantung pula dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku pada sebuah masyarakat.

Yang perlu digarisbawahi tindakan ini harus dilakukan di depan umum. Diantaranya yaitu di terminal, stasiun, tempat perbelanjaan, gedung bioskop, kampus dan perkantoran. Dan harus dilakukan dengan sengaja. Yang dibuktikan dengan tindakan saling berpelukan atau berciuman di depan umum. Sedangkan bagi mereka yang melakukan diluar tempat umum tidak dapat dikenakan delik ini. Karena unsur di tempat umum tidak terpenuhi.

Dari ketentuan itu sebenarnya cukup jelas bahwa pacaran yang dibarengi dengan pelukan atau berciuman di depan umum dapat dianggap sebagai kejahatan yang diancam dengan penjara 2 tahun 8 bulan.

Masalahnya adalah karena terjadinya pergeseran budaya, sehingga tindakan semacam itu sepertinya telah menjadi kebiasaan dan dianggap wajar oleh sebagian besar orang tua, pendidik dan aparat penegak hukum lainnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat kesopanan bangsa Indonesia telah menurun. Demikian halnya rasa malu yang dimiliki bangsa ini. Padahal Rasulullah menyatakan Al Hayaau minal iiman (malu adalah sebagian dari iman). Lalu dimana letak keimanan kita jika membiarkan anak-anak kita melakukan hal itu ???.

Menurut Hukum Islam
Sebelum kita berbicara masalah pacaran dalam tinjauan hukum Islam kita perlu lebih dahulu memahami maslah hudud, qishash dan ta’zir. Yang dimaksud dengan hudud adalah ketentuan – ketentuan pidana yang telah diatur secara tegas dan jelas termasuk jenis hukumannya dalam Alqur’an atau sunnah Nabi dan yang merupakan hak prerogratif Allah Swt. Semisal mencuri, menyamun, berzina, dan memfitnah.

Sedangkan qishash adalah pembalasan setimpal sehubungan dengan pembunuhan atau penganiayaan dimana hak menentukan hukumannya diserahkan kepada korban atau ahli waris korban. Apakah ingin membalas yang setimpal, membayar denda atau memaafkan pelakunya.

Adapun ta’zir adalah ketentuan yang diatur oleh penguasa atau hakim selain dari kedua hal diatas (hudud dan qishash). Fungsinya yaitu untuk mengisi kekosongan hukum. Semisal masalah percobaan pembunuhan atau percobaan pencurian atau percobaan perzinahan yang tidak diatur dalam syariat Islam. Disini penguasa atau hakim diberikan wewenang untuk menentukan besarnya hukuman yang harus diterima oleh pelaku tindak pidana.

Kembali ke masalah pacaran, penulis juga cukup terkejut ketika membaca buku “Al Ahkam Al Sulthaniyyah” halaman 459 karya Imam Al Mawardi. Ternyata dalam hukum Islam pacaran dimasukkan sebagai salah satu bentuk percobaan tindak pidana perzinahan. Dimana hukumannya ditentukan oleh ta’zir penguasa atau hakim.

Menurut beliau pacaran yang dibarengi dengan ngobrol berduaan dalam satu kamar / rumah maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak tiga puluh kali (30). Jika berduaan dan berpelukan tanpa pakaian namun belum sampai bersetubuh dikenakan hukuman cambuk sebanyak enam puluh (60) kali. Jika ngobrol dijalanan maka dikenakan dua puluh (20) cambukan. Jika saling mengikuti dengan saling memberikan isyarat maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak sepuluh (10) kali.

Hal itu selaras dengan ayat ayat 32 surat Al Israa’ yang artinya “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah satu perbuatan yang keji dan jalan yang buruk”.

Disini cukup jelas bahwa yang dilarang bukan hanya zina, bahkan segala sesuatu yang dapat menghantarkan seseorang jatuh kepada perbuatan zina. Satu diantaranya adalah pacaran. Karena pacaran akan menghantarkan pada zina hati, penglihatan, pendengaran dan tangan.

Karena itu dalam ayat yang lain Allah menyuruh kita untuk menundukkan pandangan (ghadhul bashar). Firman Allah artinya :

“Katakanlah kepada laki-laki beriman “ hendaklah mereka menundukkan / menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …”(An Nuur : 30).

Jalan Keluar
Masalah yang timbul sekarang adalah bagaimana dengan anak-anak, teman atau saudara kita yang saat ini pacaran. Haruskah kita cambuk sesuai hukum Islam ?. Tentu saja tidak semudah itu, karena hukum pidana Islam belum diformalkan di negeri kita. Jalan keluar yang paling mungkin yaitu dengan cara mensegerakan mereka menikah. Kalau mereka masih sekolah atau kuliyah bisa dengan cara nikah gantung sebagaimana terjadi dalam hukum adat masyarakat jawa. Yaitu menikahkan secara resmi tapi belum boleh berkumpul dalam satu rumah dan melakukan hubungan suami istri.

Hal itu juga pernah dicontohkan Rasulullah ketika menikahi ‘Aisyah, karena saat itu Aisyah belum menginjak baligh. Dan Rasulullah baru berkumpul dalam satu rumah setelah ‘Aisyah dewasa atau baligh. Model nikah semacam inilah yang seharusnya kita populerkan. Sehingga pacarannya menjadi resmi, karena dilakukan setelah ijab kabul. Sehingga ketika sang suami yang nikah gantung apel pada malam minggu akan merasa tenang dan nyaman. Tidak takut ditangkap hansip apalagi dicambuk hingga puluhan kali.

Lalu bagaimana dengan yang belum pacaran dan belum menikah. Jalan keluarnya yaitu dengan cara mencari istri lewat orang tua, ustadz atau teman. Apabila sudah cocok setelah melakukan penyelidikan terhadap sang calon segera saja dilamar dan dinikahi. Hal ini pernah dicontohkan oleh orang tua kita. Meskipun mereka tidak berpacaran toh anaknya banyak dan perkawinannya kekal hingga akhir hayat. Ini sangat berbeda dengan para artis dan anak muda sekarang, meskipun berpacaran cukup lama, tapi toh tingkat perceraiannya cukup tinggi.

Model pernikahan semacam itu juga sudah mulai dipraktekkan oleh para aktivis dakwah kampus dan anak-anak tarbiyyah Islamiyyah. Dan alhamdulillah menurut pengamatan penulis perjalanan rumah tangga mereka berjalan dengan baik, aman dan nyaman. Jika anda masih ragu-ragu jangan segan-segan bacalah buku “Indahnya Pernikahan Dini” atau buku “Berpacaran Dalam Islam”. Mudah-mudahan dengan itu budaya pacaran lambat laun akan hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia yang mengaku religius ini. Wallahu ‘alam.



Penilaian

Irwan Ramadhan Ona: irwan_rmd@yahoo.com


Saya sangat terkejut dengan informasi yang dipaparkan. dan saya sangat setuju dengan solusi untuk mencegah pacaran. akan tetapi, masalahnya adakah calon yang bersedia menikha dengan saya yang masih kuliah?????


Ingin memasukan komentar ke artikel ini? Hanya member dapat menulis komentar ke artikel.

late's better then none

From: "hasil"
To:
Subject: ini
Date: Tuesday, November 18, 2003 9:22 AM

Terlambat Bukan Berarti Tidak Sama sekali
Publikasi: 17/11/2003 17:37 WIB
eramuslim - Kaki ini meniti lemah anak tangga diantara gelap Masjid-Mu. Malam ini sudah masuk 10 malam terakhir ramadhan, malam ke 22 dari untaian malam berkah. Hati berseru takbir dengan kepalan jari-jari lemas terurai lagi. Allah ijinkanlah aku menjumpaimu pada malam-malam terakhir ini, setelah sekian malam aku hanya bergulat dengan dunia. Seharian dikejar amanah kegiatan bukan hal yang lumrah bagiku. Malam ini saatnya aku bercumbu penuh khusyu dengan-Nya dengan tubuh ini diselimuti gigil ngilu.

Tilawahku tertinggal waktu. Malu pada jam yang tetap istiqomah berputar, tapi amalanku tak pernah mau untuk istiqomah berjalan. Tarawih dan Qiyamullail semau gue-ku, apakah Engkau terima ? Hanya Engkau yang Maha Menentukan hasil dari semua usaha, aku tak sanggup mendengarkan hasil perhitungan-Mu saat ini. Amalanku yang dijejali riya semoga Engkau ampuni. Berapa kali shadaqahku ? ah, lagilagi malu pada kotak shadaqah, pada tangan kanan dan kiri yang selalu saling melihat ketika kurogoh sisa uang saku.

Ramadhan kali ini menyisakan sayatan pilu diruhaniku. Aku tak mampu menghisab diri dari kebaikan dan keburukan, dari amalan dan dosa, apalagi dari ikhlas dan riya. Bukan terlalu banyak, tapi terlalu kecil dan tak terindera. Semuanya aku kembalikan pada-Mu. 22 hari kulewati tanpa makna secuilpun yang tergores di kalbu. Bukan ini mauku. Bukan ini tujuanku. Tapi inilah yang sudah kudapat sampai saat ini. Sebuah keterlambatan.

Allah, terangkanlah padaku tentang makna keterlambatan. Semuanya sudah berjalan jauh tapi aku masih berlari kecil di tempat. Lelah ini kulahap sendiri. Ingin rasanya berlari sekencang mungkin untuk menyusul mereka yang telah jauh. Ternyata terlambat bukan berarti tidak samasekali. Masih ada waktu. Masih ada jalan. Manfaatkanlah arti dari kesempatan.

Sekarang ijinkanlah hamba-Mu ini memulai lagi. Merangkai malam-malam sunyi menjadi parade dzikir untuk-Mu. Mencuci diri dari noda, yang entah dari mana harus kumulai membersihkannya. Merangkak menggapai uluran maghfirah-Mu. Ramadhan masih tersisa beberapa hari lagi. Dan masih ada Lailatul Qadar yang setia menunggu jelmaan manusia-manusia yang Dia ridloi. Aku sangat menyadari betapa tidak pantasnya diri ini menerima anugerahmu itu. Tapi, apakah salah jika manusia dungu ini menginginkan syurga-Mu.

Ijinkanlah aku menapaki keterlambatan dengan beribu semangat juang. Agar aku bisa sampai kehadirat-Mu seperti juga mereka yang telah sampai mendahuluiku. Ijinkanlah aku mendapatkan anugerah Lailatul Qadar-Mu, mungkin untuk yang pertama kali, dan mungkin sekali-kalinya dalam hidup ini. Karena aku tidak tahu apakah tahun depan bisa berjumpa Ramadhan lagi, dan berjuang bersama mendapatkan anugerah-Mu itu.
feli@indosatm2.com

Dari yang tertatih di putaran terakhir Ramadhan

how to reach the heaven?!

Persyaratan Masuk Surga
Penulis: Drs. H. Ahmad Yani Tanggal: 6.07.2002 Hits: 316


alhikmah.com - Dalam kehidupan akhirat yang kita yakini adanya, kita pasti menginginkan memperoleh kehidupan yang bahagia dengan masuk ke dalam surga. Karenanya kita selalu berdo’a agar memperoleh kebahagiaan di akhirat itu disamping kebahagiaan di dunia sekarang ini. Bahkan Nabi Ibrahim AS juga berdo’a agar dimasukkan ke dalam surga, hal ini terdapat dalam firman Allah yang artinya: (Ibrahim berdo’a): Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shaleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang mempusakai surga yang penuh kenikmatan (26:83-85).


Kalau kita boleh mengupamakan surga seperti sebuah negara yang akan kita kunjungi, maka untuk bisa masuk ke negara itu tentu ada persyaratan yang harus kita penuhi seperti paspor, visa, uang dll. Perbandingan ini tidaklah tepat betul, karena tidak akan ada penghuni surga yang menjadi pendatang gelap sebagaimana banyak pendatang gelap yang memasuki suatu negeri. Terlepas dari soal itu, demikian pula halnya dengan masuk surga yang persyaratannya harus kita penuhi. Dari banyak hal yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang muslim untuk masuk surga, di dalam Al-Qur’an dapat kita simpulkan persyaratan yang harus kita penuhi. Semua persyaratan itu harus kita penuhi dalam kehidupan kita sekarang, di dunia ini. Semakin lengkap tentu semakin baik. Karena itu, kita tidak boleh menunggu usia mencapai tua untuk bisa memenuhinya, apalagi belum tentu kita bisa mencapai usia, karena sudah terbukti tidak orang yang mati dalam usia masih muda.



IMAN DAN AMAL SHALEH.


Iman dan amal shaleh merupakan sesuatu yang harus melekat dalam kepribadian kita. Iman harus kita buktikan dengan amal shaleh dan amal shalehpun harus didasari pada iman. Karena itu, antara iman dengan amal shaleh sering diumpakan seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dan tidak boleh dipisah-pisah, gambar uang harus ada pada dua sisinya. Uang tidak akan bisa dijadikan sebagai alat pembayaran apabila gambarnya hanya sebelah. Karena itu, tidak setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah diakui keimanannya, Allah berfirman yang artinya: Diantara manusia, ada orang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari akhir”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman (QS 2:8).


Manakala seseorang telah beriman dan beramal shaleh yang sebanyak-banyaknya, maka jaminan dari Allah Swt baginya untuk bisa masuk ke dalam surga, Allah berfirman yang artinya: Dan orang-orang yang beriman serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya (QS 2:82).


TAQWA


Secara harfiyah, taqwa artinya memelihara diri. Orang yang bertaqwa adalah orang yang memelihara dirinya dari hal-hal yang tidak dibenarkan oleh Allah Swt. Karena itu, para ulama memberikan ta’rif atau pengertian taqwa, yakni: melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya baik dalam keadaan sunyi maupun ramai. Ini berarti bertaqwa itu bukan hanya melaksanakan perintah Allah tanpa meninggalkan larangan-Nya, juga bukan hanya meninggalkan larangan-Nya tanpa melaksanakan perintah-Nya serta harus kita tunjukkan dimanapun kita berada dan dalam keadaan bagaimanapun situasi serta kondisinya.


Kehidupan umat manusia baru terwujud menjadi kehidupan yang baik, yakni kehidupan yang bermartabat, meskipun secara teknologi sangat sederhana manakala manusia bertaqwa kepada Allah Swt. Namun, meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi canggih telah dicapai oleh manusia, kehidupan dengan martabat yang rendah bahkan lebih rendah dari binatang ternak akan kita alami bila tidak bertaqwa kepada Allah Swt. Oleh karena itu, ketaqwaan kepada Allah Swt menjadi sesuatu yang sangat penting sehingga para khatib di hari Jum’at selalu membacakan ayat yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan jangan sampai kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri kepada Allah (QS 3:102).


Apabila seseorang sudah bertaqwa dengan sebenar-benarnya, maka Allah Swt menyediakan surga untuk tempat tinggal mereka sebagaimana terdapat dalam firman-Nya yang artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa (QS 3:133).



BERJUANG DAN BERKORBAN.


Islam merupakan agama yang tidak hanya harus dilaksanakan secara pribadi, tapi juga bersama-sama, baik dalam lingkup keluarga maupun mayarakat. Karena itu Islam harus disebarluaskan dan diperjuangankan penegakkannya dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara hingga dunia internasional. Bila itu yang harus dilakukan, maka diperlukan kemauan untuk berjuang pada setiap muslim dan tiada perjuangan melainkan harus dengan pengorbanan, baik dengan harta maupun jiwa. Oleh karena itu, berjuang dan berkorban di jalan Allah menjadi persyaratan bagi seseorang untuk bisa masuk ke dalam surga. Jangan harap bisa masuk ke dalam surga kalau seseorang tidak mau berjuang dan berkorban dengan segala yang dimilikinya.


Sejarah telah menunjukkan kepada kita tentang bagaimana orang-orang yang mendambakan surga berjuang dan berkorban. Seorang sahabat yang bernama Hanzhalah berangkat ke medan perang meskipun ia masih pengantin baru, bahkan belum sempat mandi junub setelah berhubungan dengan isterinya, ia tinggalkan isteri yang dicintainya, ia maju ke medan jihad dan berhasil membunuh banyak musuh, namun iapun akhirnya mati syahid dan para Malaikat memandikan jenazahnya. Sahabat Mu’adz bin Jabal juga berangkat ke Yaman atas perintah Rasul untuk berdakwah dalam waktu yang lama hingga mencapai keberhasilan membangun masyarakat Islam dan masih banyak lagi orang yang harus kita ceritakan. Semua menunjukkan adanya semangat berjuang dan berkorban dengan segala yang mereka miliki untuk meraih surga yang dijanjikan, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga ‘And. Itulah keberuntungan yang besar (QS 61:10-12).



TAUBAT


Surga merupakan tempat yang suci dan hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang suci. Karena itu, bila seseorang ingin masuk ke dalam surga, janganlah ia mati dalam keadaan bergelimang dengan dosa. Untuk itu, setiap manusia harus bertaubat sebelum mencapai kematian. Taubat adalah kembali kepada Allah, sedangkan orang yang berdosa adalah orang yang menjauhi Allah dengan segala ketentuan-Nya. Karena kita tidak tahu kapan kematian akan datang kepada kita dan kita menyadari bahwa kematian itu bisa datang kapan saja, maka di dalam ayat di atas (QS 3:133), taubat harus kita lakukan sesegera mungkin, jangan ditunda besok, pekan depan, bulan depan, tahun depan apalagi kalau ditunda hingga bila usia kita sampai tua, hal ini karena belum tentu kita bisa hidup sampai tua.


Keinginan kita untuk bertaubat harus diwujudkan dengan taubat yang sebenar-benarnya, yakni dengan memahami dan menyadari bahwa kita telah melakukan kesalahan, menyesali kesalahan itu, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan itu, menyatakan permintaan maaf, dan membuktikan kehidupan yang lebih baik. Bila hal ini sudah kita laksanakan, niscaya Allah Swt memberikan tiket kepada kita untuk bisa masuk ke dalam surga, Allah berfirman yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kamu kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai (QS 66:8).


Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa seseorang akan masuk surga atau masuk neraka sangat tergantung pada usahanya dalam kehidupan di dunia ini. Semua orang punya peluang yang sama untuk bisa masuk surga. Bila persyaratan telah dipenuhi dengan baik, tidak ada alasan bagi Allah untuk tidak memasukkan seseorang ke dalam surga.

hold your will!

Menahan Nafsu, Mengumbar Konsumerisme
Penulis: Wido Q Supraha * Tanggal: 11.11.2002 Hits: 185


Selamat Datang Wahai Ramadhan.

Sebuah bulan yang amat dirindukan dan dinantikan kedatangannya oleh segenap ummat Islam yang beriman dengan sebenar-benar taqwa, sejak di masa Rasulullaah SAW, dan para sahabatnya, telah dan sedang kita nikmati keberadaannya. Hanya saja rutinitas puasa yang telah mendarah daging di tubuh ummat yang sedang dalam puncak kegoncangannya ini, perlu kita kritisi ulang pelaksanaannya. Sehingga dampak puasa yang sebenarnya dapat dengan mudah ditumbuhkan dalam kehidupan konkret.



Menahan lapar dan dahaga (al-juu' wal 'athos) bukan hal yang sepele, terlebih di sebuah musim kemarau berkepanjangan yang kita rasakan saat ini. Namun ternyata, masih ada yang lebih susah ditahan daripada kedua hal di atas, yakni menahan nafsu membeli (baca : belanja). Meskipun ada yang masih kuat menahannya, boleh jadi mereka yang memang tidak memiliki latar belakangan keuangan yang cukup.



Tahun demi tahun berjalan, masa normal maupun masa krisis ekonomi, Ramadhan telah menjadi bulan eksploitasi diumbarnya nafsu belanja. Sehingga para pakar ekonomi pun banyak yang menggelengkan kepalanya, ketika ternyata hukum pasar yang mereka kaitkan dengan ibadah puasa ini, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ketika sewajarnya di bulan suci nan agung ini, kebutuhan akan sembako menurun, justeru sebaliknya, harga-harga meningkat drastis, dikarenakan permintaan yang di atas ambang normal.



Meski pada realitasnya, masih banyak yang tidak ingin menyia-nyiakan hari-harinya dengan banyak kegiatan positif yang memang berhubungan langsung dengan ibadah shaum, seperti tarawih bersama, tadarus Al Qur'an, dialog agama, dan lainnya, yang menjadikan masjid-masjid besar terlihat lebih makmur dari biasanya. Namun, tidak sedikit juga kegiatan - dan mungkin ini yang lebih menonjol - yang pada hakikatnya tidak berhubungan langsung secara horizontal dengan ibadah puasa, yaitu belanja Ramadhan. Kegiatan konsumtif yang terakhir ini tidak ada kaitannya dalam upaya mengembangkan keberagamaan yang kaaffah, dan komprehensif, sebagaimana prasyarat menuju kehidupan bermasyarakat yang berdimensi teologis-transformatif.



Pesta diskon terjadi di pusat-pusat perbelanjaan. Banjir iklan terpampang di pusat-pusat media. Suka atau tidak, kegiatan konsumtif selama Ramadhan ini semakin lama semakin mendapat tempat, dan pembenaran. Dan semakin hebat daya ikatnya dengan dukungan pelaku industri dan bisnis, ditambah kebijakan pemerintah. Singkatnya, sepanjang tidak berbau maksiat, apa pun halal dilakukan pengusaha guna mereguk kenikmatan untung yang besar.



***



Hawa nafsu membangkitkan sifat konsumtif manusia yang terpendam. Godaan ini lebih berat daripada sekedar menahan lapar dan dahaga tadi. Ketika mayoritas warung-warung makan (al-math'am) menutup tirai-tirainya sehingga membantu manusia menahan lapar dahaganya, pusat-pusat perbelanjaan justeru membuka diri lebar-lebar dengan berbagai tawaran menggiurkan. Tidak hanya level kecil seperti makanan, pakaian, sepatu atau aksesori rumah tangga, melainkan perkakas kantor, komputer, HP, dan perangkat level high-end pun tidak mau ketinggalan melepas discount price mereka.



Tanpa kita sadari, virus ini bisa menggiring manusia pada kondisi umat beragama secara umum pada isu desakralisasi makna ibadah. Bisa diambil contoh negara Paman Sam, dimana ucapan salam ketika perayaan Natal mereka, tidak lagi Merry Christmas, melainkan telah berubah menjadi Happy Holiday, yang terlihat kontraproduktif bagi semangat keberagamaan mereka. Kegiatan berkonsumsi berlebihan ini telah menjadi kultur yang tidak relevan lagi dengan ajaran agama yang justeru mengumandangkan tema 'menahan diri' selama menjalankan ibadah puasanya.



Konsumerisme yang melanda masyarakat ini boleh jadi sebagai tanda bahwa kapitalisme telah unggul dan melindas alam sadar manusia pada makna sesungguhnya Ramadhan, syahrut tarbiyyah, wal ibaadah. Menjadi terbiasa membeli baju baru, memperbaiki rumah, mencari makanan enak, dan seolah inilah yang 'harus' setelah sebulan menahan nafsu makan minumnya. Budaya hedonistik berkembang biak, sehingga melahirkan anggapan yang berbeda antara puasa sebagai ritual yang vertikal dengan puasa sebagai kegiatan sosial yang horizontal.



Namun, siapa yang harus kita salahkan di era globalisasi konsumerisme ini? Siapa pula yang tidak terkena imbasnya di dunia materialistis ini? Apa salahnya setahun sekali melakukan itu semua?



Pertanyaan di atas semoga menjadi salah satu pemicu bagi ummat Islam pada khususnya, mengkritisi ulang proses ritual ibadah mereka, untuk kemudian dapat memaknainya kembali, dan mengimplementasikannya, mengacu pada suri tauladan kehidupan pemimpin agung nan mulia, Rasulullaah SAW, dan para sahabatnya, 'alahimussalaam.



Allaahu a'lam.

keep it balance=tawazun!

Manajemen Tawazun Dalam Kehidupan Muslim
Penulis: Master Tanggal: 29.05.2002 Hits: 380

Manusia selalu mencari keseimbangan dalam hidupnya karena keseimbangan berarti kesempurnaan. Siapapun kita tak seorangpun akan menyangkal bahwa kesempurnaan membawa kebahagiaan.

Agama kita mengajarkan untuk senantiasa mencari titik pertengahan dari setiap urusan karena sebaik-baiknya urusan adalah yang pertengahan. Dengan memiliki bermacam-macam kecenderungan dan menyeimbangkan serta menyesuaikan satu dengan yang lain adalah hal yang urgen. Mengapa? Setiap kali orang meluangkan waktu untuk banyak beribadah, muncul dalam jiwanya perasaan bahwa ia telah melalaikan dan mengesampingkan persoalan dakwah. Demikian juga sebaliknya. Suatu ketika ia sibuk dengan urusan dakwah hingga akhirnya ia merasa mengabaikan urusan keluarga (hak-hak keluarga, kerabat, famili dsb.)

Tak sedikit fenomena futur terjadi karena seseorang tidak bisa menyeimbangkan kecenderungan-kecenderungan itu. Untuk bisa mewujudkan itu, ada kaidah-kaidah yang harus ada pada setiap orang yang mendambakan hidup tawazun (seimbang). Antara lain :

Persiapan sejak dini Kecerdasan akal Kondisi fisik dan mental yang positif Kepribadian yang tawazun

Optimalisasi penggunaan waktu dan cita-cita tinggi

Manajemen hidup yang baik

Mengembangkan dasar-dasar berpikir ilmiah

Melihat secara utuh semua persoalan

Mengetahui/memiliki skala prioritas

Tidak mencampuradukkan antara angan-angan dan kenyataan

Tidak isti’jal (terburu-buru) mengharap sesuatu segera terwujud

Berupaya semaksimal mungkin dalam tawazun Mengatur frekuensi pergaulan dengan orang lain.

Memahami keterkaitan antara satu kecenderungan dengan kecenderungan yang lain. Lebih jauh lagi penulis mengungkapkan bahwa tawazun sulit direalisasikan tanpa:

Rasa tumakninah dan aman, yaitu kondisi negara/wilayah tempat seorang muslim tinggal.

Mengosongkan diri dari angan-angan dan kegiatan dunia yang muluk-muluk.

Meluaskan ilmu dan wawasan intelektual.

Itulah sedikit ringkasan dari buku yang ditulis oleh Muhammad bin Hasan bin ’Aqil Musa.

Semoga mengingatkan kita kembali untuk senantiasa menjaga keseimbangan dalam hidup sehingga tercipta keharmonisan yang indah. Seperti alam ini, adakah Allah menciptakan tidak seimbang? Muhammad bin Hasan bin 'Aqil Musa.